Postingan

Menampilkan postingan dari 2017
SAJAK SERGAH Oh kekasih Rinduku padamu menderu Menembus dusan cakrawala Nun jauh disana Dibalik horizon segara samsara Ah kekasih Ku bersakit rakit disini Bagaimana gerangan dikau disana? Ingatlah pada rembulan dikala gulita Senyap bagai doaku Duh kekasih Ketika mata tak lagi beradu Hati masih sayup bernyanyi Bersiul Berdendang Bergumam Tak peduli kau tak disini Engkau lah langit Akulah bumi Langit menyapa bumi dengan petir Langit memeluk bumi dengan hujan Bumi menelan itu semua Apakah aku bagai Adam bagimu? Bukan lagi tulang rusukku menjadimu Sekujur hatiku nyatanya untukmu kau bawa pergi Mengembuskan kekosongan Semua hakikatnya tunggal Bumi dan langit Adam dan hawa Khaliq dan makhluk Aku dan engkau(?)

Kaleng-Kaleng Berlubangang

Seperti gelagatnya yang biasa, Ustadz Muharrom masih melayangkan pandangan kasar nan tajamnya padaku. Aku memang sudah 5 hari bolos dan telah berlarut-larut jadi buronan Ustadz Muharrom. Tak pelak alasan jarang muraja’ah- lah yang menjadikan aku sebagai target utama serangannya kali ini. Padahal aku sudah berbaik niat menerjang hujaman air langit yang menikam bumi sore ini. Sial sedang menimpa juga. Aku berada di belakang Barok dan Arif. Mereka sudah dikenal atas muraja’ah yang lama sekali durasinya. Sama-sama tidak lancar. Kalau aku sih tak pernah mikir panjang, lah aku ini cuma disuruh, lebih pasnya dipaksa Ayahku ikut program tahfidz disini. Santai saja lah. Lah cuma buat mengugurkan kewajiba n. Aku masih berkutat di j uz dua . Entah karena kebanyakan maksiat atau apalah, aku ini gampang menghafal, dan lebih gampang lagi lupanya, klop dah. Sial lagi, ngantuk mulai terantuk-antuk di pelupuk mata. Barok malah masih muter di ayat yang itu-itu aja, tiada harapan. Tak kuat. Aku

Temaram

Gambar
Langit sore bergelayut makin menunjukkan tajinya. Seruput sengau ufuk merah-jingga di pelipis horizon barat ditindihnya dengan gelap yang lamat. Pantat masih menempel di bangku taman kota. Diredupi cahaya lampu yang Cuma beberapa watt, ada beberapa lepidoptera malam yang jilir mudik. Mulai mencari penghidupan. Masih belum terlihat rodentia satu pun, hewan pengerat mahasakti itu masih belum nampak. Sepertinya masih asik di kolong got yang diatasnya berjejer penjual bunga. Tempat ini lah dulu aku bertemu dia. Dia yang memalingkan tatapan muram durjaku dari ketololan hidup. Ya, kuingat waktu itu juga sore hari. Hanya saja hari itu kita bertemu. Hari ini tidak. Kugenggam keras ikatan bunga yang kubeli dari salah satu penjual bunga yang berjajar diatas got itu. Hmm, mungkin mereka mau mengurangi dampak busuknya air got itu, ah entahlah. **             “Hey, kamu ngeliatin aku ya dari tadi?”. Dia tanpa ba-bi-bu menohok ulu hatiku.             “Hah, ahh, enggggaaak.....”. Dan kenapa

Masih Kah?

Selalu Kupandangmu dengan senyummu Senyum menyungging di rautku Selalu Kaupandang diriku Garis bahagia itu lenyap darimu Kubilang asal kau bahagia Hati kecilku pun gembira Tapi itu hanya tabir Atas keegoisanku Akhirnya hanya aku aku sendiri yang bahagia Yang tertinggal hanya angan Masih melayang di pelupuk mata Apa kau terus tega merampas satu-satunya hal yang kupunya?

Hak Asasi

Orang seringkali bersembunyi di balik tungkai Hak Asasi untuk melakukan hal seenak udelnya. Menurut A. Mustofa Bisri, Indonesia sedang dimabuk Hak Asasi. Seperti kalau diibaratkan, burung yang dari sangkar,kemudian dilepaskan ke ruangan. Burungnya bakal terbang gak terarah nabrak-nabrak dinding. Menunggu hingga si burung ini stabil yang entah kapan. Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dalam Markesot Bertutur (1993), dengan ciamik menggambarkan begini, Hak Asasi itu letaknya seperti burung (lagi-lagi burung 😁) yang dibebaskan dan ia tau diperbolehkan Tuhan untuk terbang setinggi ia mau. Tapi, ada entitas lain berupa Matahari, burung-burung itu akan terpanggang bila menuruti 'hak asasi' mereka untuk terbang tinggi. Batas-batas itu lah yang kita sebut Agama, agar Hak Asasi tidak malah meracuni kita. Akhir kalam. Silahkan melakukan eksploitasi hak asasi kalian. Tapi ingat, seperti Zakat bahwa ada hak orang lain di dalam hak kita. Tabik, RKR Masyarakat Maiyah 'Virtual'